Senin, 17 Desember 2012

Hakikat Profesionalisme Guru

Orstein dan Levine (1984) menegaskan bahwa pada dasarnya pekerjaan mengajar dapat dikatagorikan ke dalam tiga, yaitu mengajar merupakan semiprofession, emerging profession, dan full profession. Pertama, mengajar dikatakan semi-professional, ketika mengajar itu hanya dapat dilakukan melalui pelatihan dalam jangka pendek, bahkan mengajar dapat terjadi oleh siapapun yang mengaku pernah diajar, karena itu mengajar cukup meniru saja tanpa latihan yang memadai. Kedua, mengajar dikatakan emerging profession ketika mengajar di satu sisi dikatakan suatu suatu profesi, di sisi lain dikatakan bukan suatu profesi, bahkan bisa masuk katagori ambivalen. Di samping itu perlu diperjelas bahwa mengajar merupakan suatu pekerjaan yang menuntut penyesuaian yang terus menerus, sering dengan perubahan tuntutan masyarakat yang terus berkembang, sehingga seorang guru harus terus menerus melakkan up-dating ilmu dan materi, bahkan metodenya, sehingga kegiatan pembelajarannya benar-benar kontekstual. 

Ketiga, mengajar dikatakan sebagai full profession, karena mengajar merupakan suatu profesi yang anggotanya memiliki pengetahuan tertentu dan dapat menerapkan pengetahuannya untuk meningkatkan kesempatan dalam pemecahan masalah pendidikan (McNergney, Robert E. dan Herbert, Joanne M.,2001). Menurut Sanusi et. al. (1991) menguraikan ciri-ciri utama profesi adalah suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang mnenetukan (crusial), menuntut keterampilan dan keahlian tertentu, memerlukan pendidikan tingkat tinggi dengan waktu yang lama, berpegang teguh pada kode etik,memiliki otonomi terhadap masalah yang dihadapinya, bertanggung jawab terhadap tindakannya, memiliki prestise yang tinggi di masyarakat.

Secara rinci mengajar sebagai profesi  menuntut sejumlah karakteristik, di antaranya :
  1. Rasa melayani masyarakat: suatu komitmen sepanjang waktu terhadap karir.
  2. Pengetahuan dan keterampilannya berada di atas kemampuan orang pada umumnya.
  3. Aplikasi riset dan teori terhadap praktek (berkenaan dengan problem kemanusiaan).
  4. Membutuhkan waktu yang panjang untuk latihan spesialisasi.
  5. Adanya kontrol terhadap strandar lisensi dan persyaratan masuk.
  6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang bidang kerja pilihan.
  7. Suatu penerimaan tanggung jawab terhadap penilaian yang dibuat dan tindakan yang dipertunjukkan berkaitan dengan layanan yang diberikan berupa seperangkat standar penampilan.
  8. Komitmen terhadap kerja dan klien yang diindikasikan dengan penekanan pada layanan yang diberikan.
  9. Penggunaan administrator untuk menfasilitasi kerja profesional, sehingga ada kebebasan yang relatif dari perlakuan supervisi.
  10. Organisasi bersifat otonom dan terdiri atas anggota-anggota profesi.
  11. Adanya Asosiasi Profesi dan kelompok elit yang memberikan penghargaan terhadap prestasi individual.
  12. Adanya kode etik yang membantu untuk mengklarifikasi masalah-masalah atau hal-hal yang meragukan berkaitan dengan layanan yang diberikan.
  13. Tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap para praktisi secara individual.
  14. Prestise dan penghargaan ekonomik yang tinggi.
Di antara karakteristik-karakteristik di atas yang dipandang  sangat penting adalah, (1) Pengetahuan dan keterampilannya di atas kemampuan orang pada umumnya, (2) Adanya kontrol terhadap standar lisensi dan persyaratan masuk menjadi guru, (3) Otonomi dalam membuat keputusan tentang bidang kerja pilihan, dan (4) Prestise dan penghargaan ekonomik yang tinggi. Jika memperhatikan beberapa karakteristik profesional dari suatu profesi guru, maka dapat dimaklumi bahwa guru sebagai profesi harus didukung oleh beberapa kompetensi.  Broudy (Hager:1993) menyatakan, the CBTE approach mendefiniskan bahwa:

"competence in terms of prespecified performances stated as segments of overt behaviour; it argues that practicing the performance directly is more efficient than achieving it indirectly through the conventional course competence training contrasts an overt performance with the conventional program's promise of performance."

Definisi tersebut memperkuat keyakinan bahwa kompetensi pada hakekatnya dapat diraih lebih baik melalui kegiatan praktis (pelatihan kompetensi) daripada melalui kegiatan perkuliahan yang bersifat konvensional.